Prosesi pengaderan mahasiswa merupakan serangkaian proses pembentukan karakter mahasiswa yang sadar akan tanggung jawab dan perannya dalam masyarakat, dengan pemberian bekal paradigma untuk mencari jalan keluar dari sebuah masalah, menemukan solusi atas persoalan-persoalan sosial yang ada disekitarnya.
Pengaderan, Pengkaderan atau Perkaderan?
Secara etimologis, kata “kader” berasal dari akar kata en cadre yang diserap kedalam bahasa Indonesia. Kata ini jika dibentuk menjadi kata benda dalam struktur tatabahasa Indonesia akan menjadi kata pengaderan yang berarti proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader[1]. Jika kita mencari asal kata tersebut, kata “kader” berakar pada kata en cadre berarti “a French expression originally denoting either the complement of commissioned officers of a regiment or the permanent skeleton establishment of a unit, around which the unit could be built if needed.”[2] Sebuah ungkapan dari bahasa Perancis yang merujuk kepada orang atau individu yang bakal menduduki posisi penting ataupun sebagai pelengkap dalam tataran organisasi militer, baik pada unit kerja yang sudah ada atau unit kerja yang akan dibentuk. Hal ini jika dikaji baik-baik maka akan didapatkan kenyataan bahwa kata “kader” ternyata ditujukan untuk menyebut calon pengisi posisi struktural dalam ruang lingkup ketentaraan. Namun hal ini tidak mengamini bahwa pengaderan adalah proses yang keras dari segi fisik, karena berbeda dari sisi konteksnya. Dalam konteks kemahasiswaan yang notabene kaum akademisi, maka pola kaderisasi dapat diakulturasikan sesuai dengan tujuannya. Hal ini berarti prosesi pengaderan boleh keras, asalkan dalam tataran pemikiran.
Sebuah gerakan sosial sangat membutuhkan kader, terutama lembaga kemahasiswaan. Fungsi-fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan, agen kontrol sosial, dan moral force bisa dijalankan dengan baik hanya jika individu atau mahasiswa yang bersangkutan telah melalui prosesi pengaderan yang betul-betul mengarahkan dan mendidik mahasiswa untuk menuju hal tersebut. Maka pengaderan menjadi hal yang sangat penting untuk menjadikan mahasiswa benar-benar menjadi individu yang posisi dan kapasitasnya sebagai mahasiswa. Bukannya menjadi mahasiswa yang apatis dan tidak peka terhadap fenomena-fenomena sosial yang ada disekitarnya. Ketidaktahuan akan menimbulkan kebuntuan berpikir dan bertindak. Hal ini tentunya tidak terlepas dari siapa yang menjalankan proses tersebut dan apa saja yang dilakukan didalamnya.
Dunia kampus yang penuh dengan hal-hal baru untuk mahasiswa baru mungkin bisa menjadi jawaban paling masuk akal untuk pertanyaan “mengapa seorang mahasiswa baru mesti mengikuti prosesi pengaderan?”. Hal ini tak lepas dari dinamika posisi mahasiswa yang selama ini sering dicitrakan buruk melalui pembentukan opini publik dan dijadikan bulan-bulanan oleh media dengan munculnya pemberitaan-pemberitaan tentang tawuran mahasiswa, demonstrasi anarkis, bentrok, dan hal-hal lainnya, yang menjadi kenyataan yang mungkin sulit untuk diterima publik mengingat bahwa mahasiswa adalah orang-orang yang dianggap tingkat intelektualitasnya sudah berada di atas masyarakat awam.
Pencitraan buruk inilah yang biasanya ditelan mentah-mentah oleh mahasiswa baru tanpa mencoba mengklarifikasi kebenarannya, sehingga membuat mereka enggan untuk mengikuti proses pengaderan yang dilaksanakan oleh lembaga kemahasiswaan. Oleh karena itu, untuk menghilangkan citra buruk tersebut mahasiswa baru perlu diberi seperangkat alat analisa agar bisa membedah persoalan-persoalan yang kemudian muncul, berkiprah, dan mempertahankan eksistensinya sebagai mahasiswa yang benar-benar mahasiswa. Bukan hanya sekedar anak kuliahan yang berkedok mahasiswa. Disinilah kaderisasi itu menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi mahasiswa baru.
Mahasiswa baru atau kerap disingkat maba, merupakan objek utama dalam proses pengaderan. Pasalnya, mahasiswa yang baru mengenal dunia kampus sangat berpotensi dan memiliki kesempatan serta waktu yang cukup panjang dalam dunia kemahasiswaan sehingga perlu dikembangkan kemampuannya dalam berlembaga. Namun bukan berarti bahwa mahasiswa baru datang dalam keadaan “kosong” sehingga harus diisi, tetapi hanya butuh pengarahan pemikiran. Calon kader-kader potensial ini harus ditatar sedemikian rupa sehingga dapat menjadi mahasiswa-mahasiswa yang mampu menjalankan perannya sekaligus sebagai media pembelajarannya tentang dinamika keorganisasian yang tidak mereka dapatkan di ruang-ruang kuliah.
Prosesi pengaderan ini biasanya disesuaikan dengan kultur organisasi untuk meminimalisir adanya pergesekan-pergesekan ideologi antar aliran pemikiran. Nantinya setelah mahasiswa baru memiliki paradigmanya sendiri, maka dengan sendirinya pola-pola pemikiran tersebut akan berkembang menjadi lebih maju. Untuk itu kerjasama dari pihak birokrasi pun sangat diperlukan untuk bahu-membahu dengan lembaga kemahasiswaan dalam proses pengaderan mahasiswa baru.
Peran Mahasiswa
Perbedaan jenjang pendidikan menimbulkan perbedaan sebutan untuk individunya. Individu yang sedang menjalani pendidikan ditingkat sekolah dasar disebut murid SD, sekolah menengah pertama disebut pelajar SMP, sekolah menengah atas disebut siswa SMA, dan ketika telah duduk di bangku kuliah, maka sebutannya berubah menjadi mahasiswa. Hal ini berarti juga adanya perubahan peran, dari murid menjadi mahasiswa.
Seringkali hal ini tidak dipahami secara gamblang oleh orang-orang yang mengaku dirinya mahasiswa. Mereka hanya menggunakan label mahasiswa untuk menunjukkan bahwa telah terjadi perpindahan tingkat pendidikan dari sekolah menengah ke tingkat diatasnya, yakni tingkatan universitas. Alasan lain yang mungkin diterima adalah bahwa sebenarnya mereka memiliki pengetahuan tentang peran dan fungsinya, hanya saja ideologi pragmatis-hedonis membuatnya berpaling dan menjadikan hal itu hanya sebatas wacana yang menarik untuk diperbincangkan. Hal ini menimbulkan sikap apatis alias tak acuh terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan perlu untuk diadvokasi.
Seorang mahasiswa dituntut peka terhadap fenomena sosial yang terjadi disekitarnya, sesuai dengan perannya sebagai agent of change, social control, dan moral force. Dalam kelas sosial, mahasiswa ditempatkan dalam kelas peri-peri, yang olehnya titik perubahan dipicu. Ketika terjadi ketimpangan yang diakibatkan oleh pengambilan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, maka mahasiswa sebagai representasi dari rakyat yang intelek seharusnya bergerak menentang kebijakan tersebut sebagai konsekuensi dari sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Oleh karena iu, maka mahasiswa perlu disadarkan perannya melalui mekanisme pengaderan.
Tahap-Tahap Pengaderan
- Tahap Penerimaan
Tahap penerimaan dimaksudkan agar seluruh mahasiswa baru atau calon kader dapat diterima secara resmi sebagai bagian dari keluarga mahasiswa (KEMA) dengan mekanisme penerimaan yang telah disusun oleh pihak lembaga kemahasiswaan fakultas masing-masing. Hal ini bertujuan agar terjadi ikatan kekeluargaan yang hangat antar anggota KEMA yang baru dengan anggota KEMA yang lama. Tahap ini menjadi semacam tahap perkenalan dengan lingkungan sosial, kultur, dan fakultas tempat mahasiswa itu akan berproses.
- Tahap Pengaderan Awal
Pada tahap ini, mahasiswa baru diarahkan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan latihan kepemimpinan pemula untuk melatih jiwa-jiwa pemimpin serta menjadi awal pembentukan karakter mahasiswa baru. Calon kader mulai dilibatkan sebagai peserta dalam berbagai pelatihan, pendidikan, diskusi, dan kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya mendidik, tentunya dengan tetap memperhatikan prioritas utama, yakni mendukung proses transformasi ilmu pengetahuan.
- Tahap Pengaderan Lanjutan
Latihan kepemimpinan yang lebih intens dan progresif, pelibatan langsung mahasiswa baru atau calon kader dalam kegiatan-kegiatan kepanitiaan, serta menjadi penggerak kegiatan kemahasiswaan dimulai pada tahap ini. Pengenalan filsafat, pengajaran pola-pola kerja organisasi, dan pergerakan sosial serta metode pemecahan masalah pun diajarkan.
- Tahap Pengukuhan dan Regenerasi
Pada tahap pengukuhan dan regenerasi, secara seremonial dilakukan pengukuhan dari calon kader menjadi kader yang siap mengisi posisi-posisi struktural dan fungsional organisasi. Hal ini ditandai dengan adanya pengalihan kekuasaan dalam lembaga kemahasiswaan dari pengurus lama ke pengurus baru, yang berarti berakhirnya masa jabatan pengurus lama.
Tahap-tahap diatas mungkin telah dilalui seluruhnya, namun pengaderan tetap berlangsung selama menjadi mahasiswa. Baik itu untuk calon kader, kader baru, ataupun kader lama. Transformasi ilmu pengetahuan tidak berhenti hanya karena proses tersebut diatas telah dilewati, karena ilmu pengetahuan akan terus berkembang mengikuti zaman, dan pendidikan harus terus berjalan.
Tinggalkan komentar