Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Hari’

Catatan Februari

Tanggal 16 Februari kemarin, hari Selasa yang cerah di tahun 2015 ini, mungkin akan menjadi salah satu hari yang akan kusimpan baik-baik dalam ingatanku. Hari itu adalah hari ulang tahun keponakanku yang ke-5 sekaligus hari ujian hasil penelitianku, alias ujian skripsi. Dumb-dumb gleter mungkin sudah biasa untuk setiap mahasiswa tingkat akhir yang akan melaluinya, namun kali ini kurasa berbeda. Jauh berbeda ketika menjelang ujian pengajuan seminar penelitian. Dulu, aku khawatir akan dicecar dengan berbagai pertanyaan yang tidak bisa ku jawab. Tetapi untuk kali ini, sepertinya kekhawatirannya beralih topik. Bukannya memikirkan tentang pertanyaan-pertanyaan apa yang akan dilontarkan dosen penguji, malah jauh ke depan lagi, sebuah pertanyaan tentang pintu yang sudah di ambang mata. Pintu kehidupan nyata, yang mau tak mau harus dijalani dengan hati yang ikhlas atau tidak ikhlas. That’s the real worry..

Imajinasiku mulai bekerja, distimulus oleh hasil cari-carita dengan orang-orang yang berada di sekitarku. Entah kenapa makin lama makin berat rasanya. Semakin dipikir semakin banyak persoalan yang menjejali. Ini masalah pilihan, memilih atau terpaksa memilih. Aku berasumsi, aku harus memilih bukan terpaksa memilih. Sebelum itu baiknya aku perjelas mengenai memilih dan terpaksa memilih ini.

Para mahasiswa yang terfakultas di berbagai gedung kampus, dengan bidangnya masing-masing yang mereka pelajari mulai dari semester pertama hingga semester terakhir -atau semester tertentu yang dianggap terakhir- pasti punya minat dan bakat masing-masing. Dalam kenyataannya, terkadang mereka harus menerima fakultas yang tidak berkenan dengan minat atau bakatnya. Kebanyakan mahasiswa akan menyadarinya saat yang bersangkutan telah menjalani proses perkuliahan selama beberapa waktu. Ada yang gelisah dengan jurusan pilihannya yang ternyata dipilihkan oleh orangtuanya, ada yang galau bingits karena menganggap jurusannya tidak jelas bagaimana kelanjutannya di masa depan, dan yang paling parah jika mengalami stres akibat membanjirnya tugas yang tak disangka akan diberikan di jurusannya. Jadilah mahasiswa ini menjalani proses transformasi ilmu pengetahuan dengan hati yang tersiksa, yang dalam hatinya bertekad untuk lulus secepatnya -demi membebaskan dirinya dari tugas-tugas dan perasaan gelisah di ruang kuliah karena dosennya yang terlalu lama-. Sungguh kondisi yang buruk, menerima ilmu dengan terpaksa. Meskipun pihak universitas mewadahi dengan berbagai macam organisasi minat dan bakat kemahasiswaan, namun tidak bisa memaksimalkan potensi besar yang ada pada diri mahasiswa yang “salah jurusan”. Ada yang sebetulnya berbakat dibidang IT malah terjebak di jurusan Farmasi. Ada yang jiwanya di jurusan humaniora, tapi masuk jurusan keperawatan. Jadilah kata-kata “nantipi diliat”, “takkalamki sudah bayar spp”, atau “jalani saja dulu” menjadi andalan mahasiswa. Sebagai bahan pemikiran, coba kita kembali melihat model pendidikan di luar negeri. Dari usia kanak-kanak mereka dibimbing untuk menggali potensi apa yang mereka miliki. Berbagai-bagai cara diterapkan untuk bisa mengetahui minat dan bakat apa yang dipunyai oleh setiap individu. Nantinya mereka akan diarahkan sesuai bakatnya masing-masing. Everybody can be an expert, setiap orang bisa menjadi ahli dibidangnya masing-masing. Jadi dalam aspek kognitif, tak akan ada lagi yang membanding-bandingkan yang paling pintar dengan yang paling bodoh dengan indikator yang berbeda. Mahasiswa fakultas sastra tidak bisa dianggap lebih pintar atau lebih bodoh dibanding dengan mahasiswa fakultas ekonomi, karena berbeda ilmu masing-masing yang berarti berbeda pula parameter ilmunya. Yang ada hanya mahasiswa yang menguasai bidangnya masing-masing, yang akan maksimal jika sesuai dengan keinginan jiwanya. Inilah yang kumaksud dengan terpaksa memilih. Pertama memilih jurusan yang salah, dan berimbas pada terpaksa memilih yang selanjutnya, yakni menentukan pekerjaan.

Dari kesalahan awal inilah yang ternyata akan berpengaruh besar terhadap apa yang dihadapi kedepannya. Salah memilih jurusan, menjadikan mahasiswa menjalani proses perkuliahan dengan risih. Rasa malas, ogah-ogahan ngampus dan berbagai prilaku negatif menjadi efek sampingnya. Masih mumpung bagi mahasiswa yang bisa bergabung di organisasi minat dan bakat kemahasiswaan, mereka bisa memilih sesuai minat dan bakatnya, yang berarti mengurangi efek samping tadi. Namun bagaimana dengan mahasiswa yang bermasa bodoh? Tinggallah kau sendiri terombang-ambing di lautan nasib, mengikuti kemana angin akan membawa. What a pity.. Dan hal ini kembali berdampak buruk nantinya setelah sarjana. Mau kemana kita? kata Dora. Apakah terpaksa lagi untuk yang kedua kalinya, terpaksa memilih bidang pekerjaan yang tidak linier dengan bidangmu? Dengan alasan bahwa zaman ini adalah zaman multitalent? Alangkah enaknya bekerja dengan ikhlas karena sesuai dengan bidang keahlianmu, alangkah baiknya tata kelola negeri ini kalau semua orang yang menjalankannya bekerja pada bidangnya masing-masing. Dan hal ini harus dimulai dari hal yang kecil, yang merupakan komponen dari hal-hal besar.

Satu hal yang baik untuk direnungkan baik-baik, ingatlah bahwa KAMULAH YANG MENENTUKAN NASIBMU SENDIRI, BUKAN LINGKUNGANMU, BUKAN PULA ORANG-ORANG DI SEKITARMU. Buatlah beberapa rencana yang baik, dan jadikanlah segala sesuatunya berjalan sesuai rencanamu…

Makassar, 25 Februari 2015

#iseng01: bagaimana menjelaskan arti kata “otomatis” pada anak umur 5 tahun?

Read Full Post »